
JUANGA NEWS – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara menggelar aksi unjuk rasa di Kantor DPRD dan Kantor Gubernur Maluku Utara.
Dalam aksinya massa meminta agar pemerintah mengesahkan RUU dan Perda Masyarakat Adat di Maluku Utara, serta pembentukan perda pangan lokal Maluku Utara.
Massa aksi dalam orasinya menilai lemahnya konsitusi melahirkan malapetaka, sehingga pemerintah dan DPRD diminta segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.
Koordinator aksi Gayus Ambeua kepada wartawan mengatakan, lajunya perkembangan industri pertambangan di Indonesia menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan perampasan hak ulayat Masyarakat adat di Indonesia.
Gayus mengatakan, berdasarkan data inventarisir dan advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara selama satu dekade telah terjadi perampasan hak wilayah Masyarakat adat sebesar 8,5 juta hektar dari 301 komunitas Masyarakat adat dan 678 anggota komunitas Masyarakat adat mengalami kriminalisasi,
“Padahal kita tahu sendiri bahwa telah diamanatkan konstitusi melalui Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 181 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat,” kata Gayus, Jumat, 11 Oktober 2024.
Namun, kata Gayus, pemerintah terus membiarkan masyarakat adat terpinggirkan, antara lain demi kepentingan investasi. hal itu di buktikan dengan tidak seriusnya pemerintah membahas pengesahan RUU Masyarakat Adat padahal telah tiga kali masuk program legislasi nasional.
Gayus menambahkan, Pemerintah pun gagal membuat daftar inventarisasi masalah, yang seharusnya menjadi langkah awal dalam pembahasan rancangan undang-undang, maluku utara juga mengalami problem perampasan hak ulayat dan kerusakan lingkungan yang sangat serius dan memprihatinkan dengan hadirnya kurang Lebih 127 IUP di maluku utara. hal ini dikarenakan lemah nya konstitusi yang melindungi Masyarakat adat sebagai legal standing dalam mempertahankan wilayah adat mereka.
“Ada beberapa studi kasus ketidakadilan dan dikriminalisasi maupun kerusakan ekologi dapat kita pelajari pada kehidupan Suku Tobelo dalam, yang mendiami hutan Halmahera jauh sebelum hadirnya industri pertambangan dan Banjir bandang di Halmahera Tengah, ini di sebabkan oleh rakusnya investasi dan lemahnya konstitusi serta ketidak pedulian pemerintah terhadap persoalan masyarakat adat dan ekologi hari ini,” ucapnya.
Untuk itu, Gayus menegasakan, stop merusak lingkungan yang tidak terarah dan tidak memperhatikan masyarakat. Banyaknya kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memikirkan kepentingan masyarakat, yang di berikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengeksploitasi wilayah dan tanah di Maluku Utara.
“Mirisnya kerusakan akibat dari kebijakan-kebijakan yang diberikan kepada orang yang tidak bertanggung jawab. Maluku Utara seperti di rampok, kerusakan di mana-mana akibat pemerintah tidak memperhatikan, terbilang tutup mata dan telinga akan semua itu, banjir dimana-mana akibat kerusakan hutan yang hampir seluruhnya telah rusak,” tegasnya.***